Istilah revisão judicial sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Pernytaan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah revisão judicial. Mereka hanya mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Revisão judicial Dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan. Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institucional-formal e dapat pula dalam bentuk substancioso. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara 8216judicial review8217 itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya yang secara institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai 8216judicial review8217 yang bersifat prosessual, atau 8216judicial review8217 yang bersifat substancioso. Dalam konteks yang berkembang da Indonésia, sealur dengan perkembangan ketatanegaraan kontemporer, di mana judicial reviw menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, revisão judicial dimaknai sebagai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materil maupun formil suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, serta kewenangan untuk Meme sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan por UUD. Jadi, secara teoritik revisão judicial. Dalam kerangka peradilan tata negara, dengan pemaknaan yang telah dipersemit seperti di atas, revisão judicial berarti kewenangan-kewenangan yang di miliki olead peradilan tata negara (sebuah lembaga judicial), untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Mengenai objek pengujiannya ialah produk-produk legislativo (acto legislativo), yang berupa undang-undang. Dalam system hukum Indonésia yang berkembang saat ini, yang mejadi legislador utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi karena pembuatan produk legislasi (UU) membutuhkan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislativo, maka pemerintah pun memiliki fungsi sebagai legislador, meski hanya co - Legislador. Dalam kapasitasnya sebagai pembentuk undang-undang, kedua organ tersebut (DPR da Presidência) tidak wenang untuk merubah atau membatalkan suatu produk undang-undang. Pemerintah sendiri justru harus mentaati suatu produk undang-undang, dan DPR menggunakan undang-undang bersangkutan sebagai satndar atau alat controle terhadap pemerintah dalam melaksanakan kinerjanya. Persoalannya adalah ketika produk undang-undang tersebut nilai konstitulitasnya bertentanga dengan konstitusi, apakah harus terus dilanjutkan, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya. Pada sisi inilah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga judicial mengambil peran, untuk melakukan uji konstitualitas. B. Revisão judicial Istilah revisão judicial sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Pernyataan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah revisão judicial. Mereka hanya mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Revisão judicial Dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan. Sri Sumantri berpendapat Hak menguji materiil (revisão judicial) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu . Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya Mauro Capelletti, secara substantif mengartikan revisão judicial sebagai sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang ditentukan oleh konstitusi melalui sebuah metodo tertentu untuk menjadi suatu keputusan tertentu. Prosper Penerjemahan tersebut terkait dengan pertanyaan questio juris yang juga harus dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga kehakiman, hakim tidak hanya memeriksa fakta-fakta (judex factie), tetapi juga mencari, menemukan dan menginterpretasikan hukumnya (judex juris). Artinya, penekanan pada proses interpretasinya ini (avaliação de proses) mengakibatkan revisão judicial menjadi isu yang punya kaitan erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan hingga ke proses politik pada suatu negara. Konsep ini memiliki hubungan erat dengan struktur tatanegara suatu negara yang menempatkan dan menentukan lembaga mana sebagai pelaksana kekuasaan tersebut. Bahkan lebih jauh, bagaimana proses politik nasional memaknai pelaksanaan pemegang kekuasaan revisão judicial tersebut. 2. Objek Hukum Revisão Judicial Praktek Revisão Judicial dikenal tiga macam norma hukum yang bisa diuji. uma. Keputusan normativo yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling) b. Keputusan normativo yang berisi dan bersifat penetapan administrativo (beschikking) c. Keputusan normativo yang berisi dan bersifat penghakiman (julgamento vonnis) C. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan Kehakiman di Indonésia diatur dalam ketentuan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan induk dan kerangka umum meletakkan dasar serta asas-asas peradilan secara umum Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas campurtangan dari pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelanggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonésia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 1 disebutkan bahwa Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonésia. 2. Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman de Indonésia Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonésia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman Penyelenggaraan kekuasan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 di atas dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan undang-undang tersebut di atas maka Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Mahkamah Agung mempunyai kewenangan: a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonésia Tahun 1945 b. Meme sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan por telefone Undang-Undang Negara Republik Indonésia Tahun 1945 c. Meme pembuabaran partai politik d. Meme perselisihan tentang hasil pemilihan umum. D. Hubungan Hukum Revisão Judicial dengan Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Revisão Judicial memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekuasaan kehakiman yang berlaku de Negera Republik Indonésia. Bahkan antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa sisi, antara lain. 1. Objek Judicial Review pada dasarnya merupakan undang-undang atau konstitusi yang dibujo oleh lembaga yang berwenang (eksekutif dan legislatif), yang selanjutnya lembaga kehakiman melakukan proses pengawasan terhadap implementasi undang-undang tersebut dan melakukan Revisão Judicial berdasarkan laporan yang masuk ke lembaga Kehakiman, Baik dari perseorangan maupun dari lembaga atau organisasi kemasyarakatan 2. Revisão Judicial merupakan tugas dan wewenang lembaga yang termasuk dalam kategori Kekuasaan Kehakiman. Hal tersebut tentunya dilakukan semata-mata untuk keadilan dan keselarasan hukum perundang-undangan yang berlaku demi kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dear leitor, os anúncios on-line nos permitem entregar o jornalismo que você valoriza. Por favor, apoie-nos tomando um momento para desativar Adblock no Dawn. Caro leitor, os anúncios on-line nos permitem entregar o jornalismo que você valoriza. Por favor, apoie-nos tomando um momento para desativar Adblock no Dawn. Caro leitor, atualize para a versão mais recente do IE para ter uma melhor experiência de leitura Início Últimas PSL Popular Paquistão Papéis de hoje Opinião Mundo Desporto Negócios Revistas Cultura Blogs Tech Arquivo de multimídia em profundidade mdash Publicado em 02 de maio de 2009 12:00 am A REVISÃO JUDICIA é o processo Pelo que um tribunal do ápice interpreta uma lei e determina seu status constitucional. Se o judiciário verificar que uma determinada legislação está em conflito com qualquer disposição da constituição, ela pode reduzir o mesmo. O poder da revisão judicial é exercido de forma diferente em diferentes sistemas políticos. Em países como o Reino Unido, onde a constituição é em grande parte não escrita e de caráter unitário e o parlamento é soberano, os tribunais podem declarar um ato de parlamento incompatível com a constituição, mas não podem invalidar uma lei por serem inconsistentes com a constituição. Em outras palavras, o judiciário só pode interpretar a constituição. A situação é diferente em países onde uma constituição escrita e federal limita os poderes do parlamento. Por exemplo, nos EUA, o Supremo Tribunal de Justiça pode derrubar a legislação promulgada pelo Congresso se considerar que a mesma é incompatível com a Constituição. Na Alemanha, o Tribunal Constitucional tem poderes para abater não só as leis comuns, mas também as emendas constitucionais por serem inconsistentes com o caráter fundamental da constituição. Na Índia vizinha, houve um longo conflito entre o parlamento e o Supremo Tribunal sobre o alcance e os limites da revisão judicial. A vigésima quarta alteração à Constituição aprovada em 1971 autorizou o parlamento a alterar qualquer disposição da constituição. No entanto, o Supremo Tribunal declarou posteriormente que, embora o parlamento fosse competente para alterar qualquer disposição da constituição, qualquer alteração deveria estar em conformidade com o quadro básico da constituição. Isso levou o governo do primeiro-ministro Indra Gandhi a apresentar a quarenta e segunda emenda à constituição durante a proclamação de emergência, que despojou o tribunal do ápice do poder de rever uma emenda à constituição. No entanto, as quarenta e terceira e quarta e quarta alterações desfez as disposições da quarenta e segunda emenda sobre os poderes do Supremo Tribunal para julgar a validade das alterações constitucionais. Chegando ao nosso próprio sistema político, as duas questões pertinentes são: o judiciário goza do poder da revisão judicial. Se a resposta for afirmativa, qual o alcance e os limites desse poder. Como no caso de países como a Índia e os EUA, o Paquistão Tem uma constituição federal que distribui poderes entre o centro e as províncias. Nos termos do artigo 142 da Constituição, o legislativo federal ou o parlamento podem fazer leis sobre assuntos enumerados na lista legislativa federal e na lista legislativa concorrente. Da mesma forma, as legislaturas provinciais são competentes para legislar sobre assuntos que se enquadram em sua esfera de poderes. Se passamos pelo livro, nem o parlamento nem uma legislatura provincial podem invadir os outros poderes legislativos. A constituição também coloca algumas restrições sobre os poderes das legislaturas federais e provinciais. Em primeiro lugar, nenhuma lei pode ser feita que esteja em conflito com qualquer dos direitos fundamentais concedidos pela constituição aos cidadãos. A este respeito, o artigo 8 da Constituição estabelece que qualquer lei, ou qualquer costume ou uso com força de lei na medida em que seja incompatível com os direitos conferidos por este Capítulo Capítulo 1, deve, na medida em que tal inconsistência seja, ser vazio. Em segundo lugar, nenhuma lei pode ser feita, o que repugna as injunções do Islã. A este respeito, o artigo 227 da Constituição estipula que todas as leis existentes serão trazidas em conformidade com as injunções do Islã, tal como estabelecido no Alcorão e na Sunnah. E nenhuma lei deve ser feita que seja repugnante a tais injunções. Em terceiro lugar, o parlamento não pode fazer qualquer lei que seja incompatível com o caráter básico da constituição da lei fundamental da terra. Há, portanto, quatro restrições principais aos poderes legislativos do parlamento. Não pode, exceto quando uma proclamação de emergência está em vigor, legislar sobre assuntos provinciais e suas leis não podem ser incompatíveis com direitos fundamentais, injunções islâmicas e o caráter básico da própria constituição. É a partir dessas restrições à competência legislativa do parlamento que o poder de revisão judicial segue. O poder superior pode invalidar um ato de parlamento que está além da sua competência legislativa por qualquer dos quatro motivos mencionados nos parágrafos anteriores. Em outras palavras, o parlamento no Paquistão não é soberano. Em vez disso, seus poderes estão restritos por algumas disposições escritas da constituição. Se esses poderes forem superados, o poder judiciário pode ser movido para corrigir as queixas da parte prejudicada. Aqui, parece pertinente mencionar que a constituição do Paquistão, como as constituições indianas e americanas, não confere o poder da revisão judicial ao judiciário em termos expressos. A constituição não afirma que um tribunal superior ou o Supremo Tribunal de Justiça possam derrubar uma lei aprovada pelo parlamento ou uma assembléia provincial. O que a constituição confere ao poder superior é o poder de interpretar a constituição. É a partir desta função do judiciário que o poder de revisão judicial segue. Ao interpretar algumas disposições da constituição, os tribunais podem considerar que uma lei específica está em conflito com essas disposições. Uma vez que a constituição é a lei fundamental da terra, qualquer lei que esteja em conflito com ela será nula. O legislador deve modificá-lo ou revogá-lo. Como um ex-juiz da Suprema Corte dos EUA disse uma vez que os juízes estão sob a constituição. Mas a constituição é o que dizemos é. O judiciário não faz leis, mas interpreta as leis tanto ordinárias como constitucionais. Se os juízes acharem inconstitucional um documento legislativo, ele deve ser retirado do livro estatutário. Assim, a resposta à nossa primeira questão de saber se o poder judiciário no Paquistão tem o poder de revisão judicial é afirmativa. Vamos voltar para a segunda questão sobre o alcance e os limites desse poder. Nenhuma constituição é estática. Em vez disso, cada constituição cresce através de convenções, interpretações judiciais e emendas formais. Toda constituição estabelece um método para a sua alteração. No caso da constituição de 1973, os artigos 238 e 239 atribuem o poder de alteração da constituição quase que exclusivamente no parlamento. As duas casas do parlamento podem alterar qualquer disposição da constituição por uma maioria de dois terços e sujeito ao parecer favorável do presidente. No entanto, um projeto de emenda constitucional que busca alterar os limites de uma província também deve ser aprovado pela assembléia provincial em questão. Exceto por essa condição, o parlamento tem poderes para alterar unilateralmente qualquer disposição constitucional. Uma questão pertinente é: Existe algum limite na constituição que altera o poder do parlamento A este respeito, pode ser feita referência ao artigo 239 (5) da constituição, que declara que nenhuma alteração da constituição deve ser posta em causa por qualquer motivo em qualquer quadra. A Cláusula 6 do mesmo artigo diz que para a remoção de qualquer dúvida é declarado que não há qualquer limitação sobre os poderes do Majlis-e-Shura (parlamento) para alterar qualquer das disposições da constituição. Prima facie, os tribunais não estão habilitados a investigar o vires de uma emenda constitucional. Eles só podem interpretá-lo. Mas isso significa que o parlamento pode mudar o caráter federal da constituição, abolir a forma de governo parlamentar ou privar os cidadãos de seus direitos fundamentais, incluindo o direito à vida simplesmente passando um projeto de lei por uma maioria de dois terços. Ao dar ao parlamento o poder de Alterar a constituição, os artigos 239 usam a palavra alteração. O significado lexical da alteração da palavra é fazer melhorias menores em um documento por meio de adição ou exclusão. Isso significa claramente que qualquer alteração à constituição deve estar dentro do seu quadro básico, caso contrário, não será menor. Assim, o parlamento pode introduzir pequenas mudanças na constituição que não pode reescrever ou desfazer a constituição, alterando seu caráter essencial. É, em última instância, que os tribunais julguem se alguma emenda constitucional está em conformidade com o caráter fundamental da constituição, pois isso envolve a interpretação da constituição. Se os tribunais determinam que uma emenda constitucional tem o efeito de desfigurar a constituição, eles podem pedir ao parlamento que desfaz a alteração por ser ultra vires à constituição. Embora os tribunais tenham o poder de fiscalização judicial, o mesmo não pode ser exercido de forma arbitrária. Se o poder legislativo do parlamento não for ilimitado, o poder dos tribunais para rever as leis aprovadas pelo parlamento também não é ilimitado. Como outros órgãos do estado, o judiciário deriva seus poderes da constituição e os juízes estão sob a constituição como qualquer outra pessoa. Eles podem interpretar e invalidar leis, mas eles não podem assumir a função de lei ou não podem conferir essa função a qualquer pessoa ou instituição que não seja a legislatura federal ou provincial. Nem os tribunais podem fazer constitucional o que é manifestamente inconstitucional. A soberania não está localizada nem no parlamento nem no judiciário, mas na própria constituição. DAWNVIDEO - 1029551DAWN-RM-1x1 Comentários (0) Fechado
No comments:
Post a Comment